Sukarnya Mencari Sumber Penerimaan Negara Sehebat Rokok



Ketergantungan Indonesia terhadap sumber pendapatan negara atas rokok tak terbantahkan. Indonesia telah begitu lama dan larut menikmati pemasukan dari cukai dan pajak rokok atau tembakau setiap tahunnya. Rokok tidak hanya menjadi candu bagi perokok namun juga buat negara.

Ironis memang, di satu sisi pemerintah selalu mendengungkan persoalan kesehatan, di sisi lain juga malu-malu berharap dari target cukai dan pajak rokok.

Sebagai gambaran, dari target penerimaan cukai di RAPBN 2018, sebesar Rp155,40 triliun, salah satunya bersumber dari cukai hasil tembakau menyumbang sebesar Rp148,23 triliun. Jika angka tersebut dibandingkan dengan target cukai hasil tembakau APBN-P 2017, terjadi kenaikan 0,5%.

Pemerintah tak pernah puas mendulang pundi-pundi lewat cukai rokok dengan alasan cukai rokok dinaikkan untuk tujuan kesehatan. Tahun ini saja pemerintah telah memutuskan kenaikan cukai rokok sebesar 10,04% yang berlaku tahun depan.

Sebetulnya beban cukai yang semakin berat perlahan telah membuat industri rokok lunglai perlahan. Kondisi ini memang tak hanya terjadi di Indonesia, masa-masa sunset-nya industri hasil tembakau ini juga tampak di berbagai negara.

Ya, dengan dalil mengontrol prevalensi merokok, demi alasan kesehatan dan lingkungan, sejumlah negara memang menaikkan pajaknya secara kontinyu. Sebagai contoh, pada 1 September 2017 lalu Australia juga memutuskan untuk menaikkan pajak rokok di negaranya sebesar 12,5% tiap tahun, selama empat tahun ke depan.

Namun di Indonesia permasalahannya tak sesederhana itu. Masalahnya di tengah kenaikan cukai rokok pemerintah tetap menuntut peningkatan pemasukan. Padahal pengamat Kebijakan Fiskal dari Universitas Indonesia (UI), Inayati, kepada Validnews, mengatakan bila pemerintah ingin mengurangi konsumsi rokok lewat cukai, seharusnya mewajarkan apabila nantinya penerimaan cukainya juga terus turun. Bukan sebaliknya, justru berorientasi pada penerimaan.

Sumbangsih Terbesar
Jika betul kenaikan cukai erat hubungannya dengan persoalan kesehatan, maka pemerintah seharusnya memikirkan alternatif penerimaan negara sebagai pengganti ketergantungan atas rokok selama ini.



Sayang pencarian alternatif penerimaan yang sepadan bukan hal yang mudah. Sebab di Indonesia sendiri pada tahun 2016 lalu, cukai dan pajak rokok daerah mampu bersumbangsih sebesar Rp151,7 triliun terhadap total penerimaan negara dari perpajakan sebesar Rp1.284,97 triliun. Ini berarti sektor industri hasil tembakau ini menyumbang 11,80% dari total penerimaan dari sektor perpajakan.

Dari nilai cukai saja industri rokok pada tahun 2017 mampu menyumbang sebesar Rp137,9 triliun. Persentase pemasukan cukai dari rokok itu mencapai 96,04% dari total cukai yang diterima negara sebesar Rp143,52 triliun.Kontribusi rokok terhadap penerimaan perpajakan Indonesia di tahun kemarin itu tak berbeda jauh dengan hasil kajian Bentoel Group terkait peran industri hasil tembakau terhadap pemasukan negara. Pada tahun 2013, industri rokok menyumbang Rp131 triliun untuk sektor perpajakan. Nilai tersebut merupakan akumulasi dari cukai, pajak penghasilan, hingga pajak pertambahan nilai. Angka ini berkontribusi Rp12,16% dari penerimaan perpajakan negara kala itu yang berada di angka Rp1.077,31 triliun.

Memang persentase kontribusi ini lebih sedikit dibandingkan kontribusi dari sektor BUMN serta real estate dan kontruksi yang secara berturut-turut menyumbang 14,85% dan 13,18% dari total penerimaan perpajakan negara, dengan nominal Rp160 triliun dan Rp142 triliun.

Namun, Ketua CITA, Yustinus Prastowo menyebutkan industri rokok sebenarnya tetap mengungguli subsektor industri lainnya terkait sumbangsihnya terhadap keuangan negara. Sebab kajian yang menyebut BUMN dan real estate sebagai pemberi nilai pajak yang lebih besar daripada industri rokok sudah tidak berlaku lagi di masa sekarang.

https://youtu.be/KL3t34IZYd0

Pertama karena BUMN sendiri terdiri atas berbagai sektor sehingga tidak tepat langsung dibandingkan dengan industri rokok yang berdiri sendiri. Kedua, mengenai industri real estate sendiri, kondisinya saat ini tengah mengalami perlambatan.

Penting menurut Yustinus untuk membuat industri rokok tetap bertahan, mengingat besarnya serapan tenaga kerja dan kontribusi pemasukan dari industri ini.

“Semata-mata karena memang kita tak punya altenatif tadi kan,” ujarnya.

Namun, ke depannya jika dikelola dengan baik oleh pemerintah, pengamat perpajakan ini melihat selain rokok, sebetulnya industri tekstil dan hasil tekstil dapat menjadi tumpuan baru bagi perpajakan Indonesia. Hanya saja, tentu pengelolaannya harus benar-benar dioptimalkan oleh pemerintah. Paling tidak dibutuhkan pembenahan selama 5—10 tahun untuk membuat industri tekstil dan produk tekstil mampu berkontribusi lebih bagi perpajakan nasional.

Tapi bila tidak ada pengelolaan yang baik, jangan harap industri ini bisa menggantikan peran industri rokok dalam waktu singkat.

“Lumayan karena dia kan memang orientasinya ekspor, lalu padat karya pasti PPh 21-nya tinggi, PPN. Terus juga menyerap bahan baku. Itu sebenarnya bagus prospeknya, tapi sekian lama tidak diperhatikan,” ucapnya.

Sumber Penerimaan Alternatif
Peneliti dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus mengatakan sebetulnya ada cara agar pemerintah tak dapat mencari alternatif penerimaan selain dari cukai rokok.

Yang harus ditempuh agar pemerintah tak lagi mengandalkan cukai hasil tembakau sebagai sumber penerimaan, adalah dengan mengambil langkah intensifikasi, yakni dengan optimalisasi penyerapan pajak dari pajak yang bisa dipungut seperti PPh, PPn, cukai, PNBP, dan sebagainya.

“Misalnya seperti tax amnesty kemarin, dari sisi deklarasi memang sudah optimal, namun dari sisi dana yang bisa dipulangkan dari luar negeri belum optimal,” katanya.

Langkah kedua, pemerintah juga dapat menyiapkan ekstensifikasi, artinya perluasan objek pajak dari yang sudah ada. Semisal, dengan penetapan cukai untuk barang-barang non konsumsi yang bisa merusak lingkungan jangka panjang.

Dia mengatakan jadi yang dikenakan cukai tidak hanya barang konsumsi seperti alkohol, rokok, soda dan sebagainya. Namun juga ditetapkan buat barang-barang yang merusak lingkungan. Semisal plastik yang tidak bisa didaur ulang, itu bisa dikenakan cukai karena bisa merusak lingkungan.

“Begitu pula dengan kendaraan bermotor yang menghasilkan polusi udara, itu juga bisa dikenakan cukai. Lalu AC yang juga bisa merusak ozon, itu juga bisa dikenakan cukai. Di luar negeri sudah banyak yang melakukan itu, namun di Indonesia baru barang-barang konsumsi saja,” terang Ahmad.

Dia mengatakan, sebenarnya kajian penerapan cukai terhadap barang-barang konsumsi itu sudah ada. Sayang, pelaksanaannya terus tertunda karena pasti akan ada penolakan dari beberapa sektor. Namun cepat atau lambat, dia menyarankan agar barang-barang selain barang konsumsi seharusnya dikenakan cukai. Sebab itu merupakan potensi yang besar sebagai pendapatan negara selain dari cukai rokok.

“Sedangkan saat ini yang memang bisa diandalkan adalah rokok, karena pendapatan pajak negara sekitar 10% nya berasal dari cukai rokok,” ungkapnya.

Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aony Aziz juga meminta agar pemerintah dapat melakukan ekstensifikasi barang terkena cukai. Di Indonesia, katanya kini hanya tiga barang yang menjadi obyek cukai, yaitu minuman beralkohol (minol), ethil alkohol, dan hasil tembakau. Dia menyebutkan jumlah ini menyusut jika dibandingkan dengan jumlah barang kena cukai pada masa kolonial. Pada masa itu gula pun dikenai cukai.

Kalau dibandingkan dengan negara lain pun jumlah barang kena cukai di nusantara juga lebih sedikit. Menurut Hasan, Malaysia sudah mengenal 13 item barang kena cukai, sementara Singapura 10 jenis, India 28 jenis dan Jepang 24 jenis.

“Berdasarkan kajian-kajian bahwa semua eksternalitasnya memiliki aspek potensi kebahayaan buat publik maka seharusnya terkena cukai. Kenapa kami sampaikan bahwa ada keperluan dari negara secara fiskal untuk mendapatkan penerimaan lain dari sektor lain,” katanya.

Hasan mengatakan sekarang ini memang perlu ada ekstensifikasi yang memadai. Sehingga beban yang diberikan pada industri rokok tidak menjadi sangat besar. Apalagi kenaikan cukai yang dalam lima tahun terakhir mencapai 11% telah memukul industri rokok. Hal ini tercermin dari jumlah unit usaha yang terus menurun. Dari kisaran 4.900 pada 2009, kini tinggal 600 unit usaha yang tertinggal.

“Kemudian dari 600 itu, hanya 150—200 yang berproduksi aktif. Artinya aktif berproduksi itu mereka setiap bulan mengajukan permohonan pita cukai,” katanya, Selasa (24/10). (Teodora Nirmala Fau, Rizal, Fin Harini, Nofanolo Zagoto)

(validnews.co)

#aselitemanggung

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kilas Sejarah Perjalanan Kereta Api di Temanggung

"Nglinting everywere" Mengeksiskan budaya rokok lintingan

Jenis-Jenis Tembakau